Jumat, 31 Mei 2013

Coklat Ovop



1.  Kakao : Asal usul dan kontribusi Indonesia di dunia
Kakao merupakan tanaman kecil yang selalu tumbuh  terlindung dibawah pohon yang lain . Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon  di alam dapat mencapai ketinggian 10m. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif. Tanaman Kakao (Theobroma cacao) berasal dari Amerika bagian tropic perairan sungai Amazon dan Orinoco (Decandole) Amerika Tengah dan New Grenada (antara sunga Orinoco, Yajamica, Martinique.. Sedangkan menurut Stahel tanaman kako berasal dari daerah Amerika Selatan (Lembah perairan Orinoco dan Amazon) untuk kakao jenis Forastero dan Amerika Tengah terutama Hutan Nicoya (Pantai Pasifik Orinoco dan Amazon) untuk jenis kakao Criollo. Ada juga berpendapatan Kakao Criollo berasal dari pegunungan Andes bagian utara, sedang Forastero berarasl dari sisi Timur.


Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai cokelat. Menurut Ermcholm, Bangsa Maya adalah yang pertama kali membudidayakan Kakao. Selanjutnya bangsa  Aztec (Meksiko)  dan bangsa Tolteca yang hidup sebelum bangsa Astec.  Bangsa Eropa mengetahu tanaman Kakao pada tahun 1526.  Kakao masuk wilayah Indonesisa sekitar tahun 1560, dibawa oleh para pedagang Portugis melalui Sulawesi dan selanjutnya tanaman Kakao menyebar ke daerah kepulauan di sekitar Minahasa. Kakao yang masuk di Indonesia merupakan tanaman Kakao Criollo berasal dari Venezuela. Perkembangan tanaman Kakao waktu itu cepat menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa dan yang menyebar di Jawa akhirnya dikenal sebagai Criollo Jawa.  

Kakao mulai menjadi komoditi penting sejak sekitar tahun 1951. Tanaman Kakao di Indonesia mengalami kehancuran karena terserang penyakit y ang tidak dapat dikendalikan, sehingga kalau masih ada tanaman yang tersisa karena adanya usaha yang dilakukan pembudidaya untuk tetap mempertahankan tanaman kakao agar tetap tumbuh. Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian dan mendukung industry kakao pada tahun 1975, setelah PTP VI berhasil menaikkan produksi kakao per hektar melalui penggunaana bibit unggul Upper Amazon yang merupakan hasil persilangan antar klon dan sabah.  

Di Indonesia, kakao mulia dihasilkan oleh beberapa perkebunan tua di Jawa, misal di kabupaten Jember yang dikelola oleh PTPN (Perusahaan Perkebunan Negara). Varietas penghasil kakao mulia berasal dari  pemuliaan yang dilakukan pada masa kolonial Belanda, dan dikenal dari namanya yang berawalan "DR" (misalnya DR-38). Singkatan ini diambil dari singkatan nama perkebunan tempat dilakukannya seleksi (Djati Roenggo, di daerah UngaranJawa Tengah). Varietas kakao mulia  berasal dari tipe Criollo. 

Delapan negara penghasil kakao terbesar adalah (data tahun panen 2005)  antara lain: Pantai Gading (38 %), Ghana (19 %),  Indonesia (13 %  sebagian besar kakao curah), Nigeria (5%), Brasil (5%), Kamerun (5%), Ekuador (4%), Malaysia (1%) dan negara-negara lain menghasilkan 9% sisanya.   Kakao sebagai komoditas perdagangan biasanya dibedakan menjadi dua kelompok besar:kakao mulia ("edel cacao") dan kakao curah ("bulk cacao").. Sebagian besar daerah produsen kakao di Indonesia menghasilkan kakao curah. Kakao curah berasal dari varietas-varietas yang  self-incompatible. Kualitas kakao curah biasanya rendah, meskipun produksinya lebih tinggi. Bukan rasa yang diutamakan tetapi biasanya kandungan lemaknya.
                           Tabel 1 : Daftar 10 Negara Penghasil Kakao Dunia
Peringkat
Negara
Produksi
(Ribu Ton)
Kontribrusi  
Produksi
Dunia (%)
1
Pantai Gading
1.300
37,4
2
Ghana
720
20,7
3
Indonesia
440
12,7
4
Kamerun
175
5,0
5
Negeria
160
4,6
6
Brazil
155
4,5
7
Equador
118
3,4
8
Dominka
47
1,4
9
Malaysia
30
0,9
10
Togo
23
0,6
   Sumber : http://www.jualbeliforum.com, 28 September 2011
Sebagai negara produsen kakao terbesar ke tiga dunia setalah Pantai Gading dan Ghana, indonesia memiliki peluang besar dalam mengisi kebutuhan pasar dunia disamping peluang pasar domestik sekitar 240 juta penduduk Indonesia.  Sebagian besar daerah produsen kakao di Indonesia menghasilkan kakao curah. Kakao curah berasal dari varietas-varietas yang self-incompatible. Kualitas kakao curah biasanya rendah, meskipun produksinya lebih tinggi. Bukan rasa yang diutamakan tetapi biasanya kandungan lemaknya. Indonesia bercita-cita menjadi  produsen Kakao terbesar di dunia.  Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Indonesia mencangangkan Hari Kakao Nasional tanggal 12 Oktober 2012.  Dalam rangka menuju cita-citated : Hilirisasi industri kakao dan coklat nasional dalam rangka peningkatan konsumsi kakao dan cokelat.Namun, upaya mewujudkan kejayaan kakao Indonesia tersebut terkendala oleh kondisi mutu dan produktivitas yang rendah karena umur tanaman kakao yang sudah sangat tua (lebih dari 35 tahun), serangan hama penyakit terutama penggerek buah kakao (PBK) dan vascular streak dieback (VSD), selain itu sebagian besar biji kakao belum difermentasi dan diolah menjadi coklat di sentra-sentra kakao. Berdasarkan data PT. B.T. Cocoa,  sekitar 80 persen produksi kakao nasional itu bahan bakunya dihasilkan dari petani di sulawesi yakni Sulawesi Tengah (18,33 persen), Sulawesi Selatan (17,78 persen), Sulawesi Tenggara (16,46 persen) dan Sulawesi Barat (13,72 persen), Sementara provinsi lainnya dengan produksi antara 3-8 persen yakni di Sumatera Utara (8,28 persen), Aceh (3,32 persen), Sumatera Barat (3,79 persen) dan Lampung (3,26 persen). Sedangkan provinsi yang memproduksi 1-2 persen dari total nasional itu ada di Jawa Timur, NTT, Kaltim, Papua dan provinsi lainya. 

Kakao saat ini tercatat sebagai penyumbang devisa negara ketiga terbesar di sektor perkebunan yang memberikan lapangan pekerjaan bagi 1,6 juta petani di seluruh Indonesia. Dalam rangka memperbaiki budidaya kakao Pemerintah Indonesia telah melaksanakan  Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao).  Menurut Menteri Pertanian (2012, Gernas Kakao berhasil  meningkatkan total produksi 29,24 persen produksi nasional.  Peningkatan produksi dan mutu kakao yang dilaksanakan tahun 2009, pemerintah melakukan program peningkatan produksi di sembilan propinsi dan 40 kabupaten, tahun 2010 di 13 propinsi 56 kabupaten dan tahun 2011 di 25 propinsi 95 kabupaten. Sasaran Gernas Kakao, yakni perbaikan tanaman seluas 450 ribu hektar meliputi peremajaan tanaman seluas 70 ribu ha, rehabilitasi tanaman seluas 235 ribu ha, dan intensifikasi tanaman seluas 145 ribu ha.  Selain itu, ini guna untuk pemberdayaan petan melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450 ribu petani, pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450 ribu ha, dan perbaikan mutu kakao sesuai SNI. Dampak dari ini program ini yakni produksi biji kakao nasional tahun 2011 mencapai 712 ribu ton yang diharapkan dapat mendukung kebutuhan bahan baku industri dalam negeri yang pada tahun 2011 sebesar 268 ribu, dan diprediksi tahun 2012 mencapai 400 ton.Selanjutnya diharapkan produksi meningkat  menjadi 500 ribu ton pada tahun 2013. 

Untuk mendukung peremjaan tanaman Kakao, selama dua tahun terakhir, 2009-2010, Puslit Kopi dan Kakao Indonersia telah menyalurkan sebanyak 36 juta planlet kakao klonal untuk mendukung program gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao. Menurut Suryo Wardhani, Puslit Koka Jember ( http//:www.forumkompas.com, Agustus,2011) produksi kakao Indonesia telah mengalami lompatan sangat besar sehingga mampu menyalip Ghana. Produksi kakao kering Indonesia sebanyak 800.000 ton setahun. Adapun Pantai Gading masih bertahan di urutan pertama dengan produksi 1,1 juta hingga 1,2 juta ton. Permintaan kakao dunia akan terus meningkat, sementara persediaan tidak beranjak naik. Kini banyak petani yang berswadaya memperluas areal tanaman kakao karena prospek ke depan sangat baik. Daerah penghasil kakao terbanyak di Indonesia hanya ada di empat provinsi, yakni Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang menguasai 70 persen produksi nasional. Masih banyak daerah belum memanfaatkan peluang ini, seperti Kalimantan Timur dan beberapa daerah lain.  Namun demikan,  kualitas kakao ditentukan oleh perilaku petani. Jika petani bersedia menambah waktu untuk mefermentasi kakao, maka akan dapat nilai tambah Rp 5.000 per kilogram. Harga kakao kering tanpa fermentasi Rp 20.000 per kilogram dan perusahaan perkebunan besar menjual kakao fermentasi Rp 25.000 per kilogram.  Dengan Kakao fermentasi bisa meningkatkan cita rasa dan aroma kakao. Menurut Suryo (2011) Pasar Kakao sekarang  menunjukkan  Amerika lebih memilih yang tidak difermentasi, sementara  Eropa justru memilikh kakao yang difermentasi. 

Menurut data FAO menyebutkan, Indonesia memproduksi 574 ribu ton Kakao di tahun 2010.  Namun, tingginya produksi kakao tersebut tidak serta merta membuat Indonesia menjadi negara dengan konsumsi cokelat yang tinggi, karena dalam kenyataannya konsumsi cokelat di negeri kita masih rendah. Faktor penyebab rendahnya konsumsi coklat di dalam negeri antara lain : 1. Indonesia  memiliki sedikit industri pengolahan coklat. 2. Bahan bahan coklat di Indonesia sebagian besar di ekspor dalam bentuk biji (curah) dan lebih banyak menghasilkan lemak coklat. 3.  Biji kakao yang dihasilkan petani sebagian besar tidak difermentasi sehingga  flavor (aroma) kakao tidak keluar. 4. Industri pengolahan coklat dalam negeri  terpaksa  mencampur kakao dalam negeri  tidak difermentasi dengan kakao impor hanya untuk tujuan aroma khas kakao.  5. Biaya investasi untuk membangun industry pengolahan coklat sangat besar, sehinga menutup kesempatan bagi sentra penghasilkan kakao menghasilkan aneka coklat olahan yang berkualitas. 

Meskipun Eropa bukan penghasil biji kakao, namun konsumsi coklat di Eropa sangat tinggi. Eropa adalah negara penghasil dan pengekspor cokelat no.1 di dunia. Orang Indonesia tidak terbiasa mengkonsumsi cokelat. Bila dibandingkan dengan konsumsi orang Eropa yang mencapai 1 kg per kapita /tahun, konsumsi cokelat di Indonesia hanya mencapai 300 gram per kapita/ tahun. Jumlahnya sangat rendah dibandingkan dengan konsumsi cokelat orang Eropa.Cokelat masih dianggap suatu makanan mahal, sehingga bukan termasuk makanan yang sering dibeli. Cokelat biasanya hanya dibeli pada waktu tertentu dan maksud tertentu misalnya saat valentine, ataupun  sebagai hadiah ulang tahun.  Banyak kaum perempuan menghindari makan cokelat karena takut gemuk. Cokelat memang makanan ringan dengan kandungan kalori dan gula yang cukup tinggi. Kalori dan gula memang identik dengan kegemukan.  Menurut Beatrice Golomb, peneliti dari Universitas San Diego, Amerika mengemukakan bahwa orang-orang yang mengkonsumsi coklat dengan frekuensi cukup sering memiliki indeks massa tubuh yang lebih rendah dibandingkan orang-orang yang jarang mengkonsumsi cokelat. Selain hal tersebut cokelat sangat kaya antioksidan yakni polifenol yang dapat mengurangi kolesterol dan gula darah. Walau demikian konsumsi cokelat harus cerdas dan dalam jumlah yang tepat. Untuk menghindari resiko kegemukan, mengkonsumsi cokelat yang lebih tinggi kandungan kakao mass-nya seperti dark chocolate dan rendah kandungan susu dan gulanya. Meski tingginya kadar kakao mass membuat rasa cokelat agak pahit, tapi lebih sehat sebab mngandung lebih sedikit gula dan susu. Menurut laporan,  bahwa satu bar cokelat mengandung setidaknya 200 kalori yang berasal dari lemak jenuh dan gula. Karena itu makan cokelat disarankan hanya 28 gram atau sekitar satu ons sehari dan pilihlah dark chocholate.


2.  Pengembangan Produk Unggulan Kakao Kota Palopo dengan pendekatan OVOP melalui
Koperasi  Kota Palopo  Sulawesi Selatan. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif sejak 1986 dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu yang kemudian berubah menjadi kota pada tahun 2002 sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002.  Berdasarkan Perda Kota Palopo Nomor 03 Tahun 2005, dilaksanakan pemekaran Wilayah Kecamatan dan Kelurahan dari 4 Kecamatan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.  Luas wilayah Kota Palopo  155,19 km² dan berpenduduk sebanyak 120.748 jiwa.  Kota Palopo ini dulunya bernama Ware yang dikenal dalam Epik La Galigo. Nama "Palopo" ini diperkirakan mulai digunakan sejak tahun1604, bersamaan dengan pembangunan masjid Jami' Tua. Kata "Palopo" ini diambil dari dua kata bahasa Bugis-Luwu. Artinya yang pertama adalah penganan ketan dan air gula merah dicampur. Arti yang kedua dari kata Palopo adalah memasukkan pasak ke dalam tiang bangunan. Dua kata ini ada hubungannya dengan pembangunan dan penggunaan resmi masjid Jami' Tua yang dibangun pada tahun 1604 (Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palopo).


Kota Palopo dan Kabupaten Luwu merupakan penghasil Kakao.  Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan Makasar (2010), luas lahan kakao Kota Palopo diusahakan 3.713 Ha.  Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) 599 Ha dan Tanaman Menghasilkan 2.683 Ha. Luas lahan kakao Kabupaten Luwu 36.762 Ha dengan perincian Tanaman Belum Menghasilkan 3.204 Ha dan Tanaman Menghasilkan 31.862 dan TT/TR 1.696 Ha. Sementara luas lahan perkebunan Kakao di Kabupaten Luwu yang diusahakan sebanyak 36.762 Ha, terdiri dari TBM 3.204 Ha, TM 31.862 Ha dan TT/TR 1.696 Ha.  
  
Tabel 1 Produksi Kakao Kota Palopo dan Kabupaten Luwu  Sulsel
Tahun
Palopo (Ton)
Kab. Luwu (Ton)
2010
2.369
29.830
2009
2.177
26.996
2006
4.531
30.863

Palopo itu pintu timur Sulsel yang merupakan jalur penghubung untuk provinsi lainnya. Palopo merupakan kota jasa dan memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang sangat baik.  Letak geografis Kota Palopo merupakan posisi strategis sebagai titik simpul jalur transportasi darat Trans Sulawesi dan laut trans Teluk Bone. Pada posisi ini Kota Palopo menjadi salah satu jalur distribusi barang dari Makassar dan Pare-Pare menuju Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Luwu Utara, Luwu Timur dan pada jalur laut menuju Propinsi Sulawesi Tenggara. Keberadaan fasilitas seperti Bandara Udara Lagaligo yang terletak di Kecamatan Bua Kabupaten Luwu yang terletak sekitar 20 km dari Kota Palopo yang secara tidak langsung akan memberikan penguatan terhadap posisi strategis wilayah Kota Palopo sebagai salah satu pusat aktivitas ekonomi, sosial dan budaya terhadap wilayah hinterland lainnya. 


Sesuai dengan RPJMD 2008-2013 Kota Palopo menyediakan lahan untuk membangun Kawasan Industri Palopo (KIPA).  Menurut  www.palopopos.co.id, sejak tahun 2009, 2010 dan 2011 Pemkot Palopo telah menyediakan dana APBD untuk pembebasan lahan seluar 800 Ha dan pembangunan jalan sepanjang 3 Km dengan total anggaran Rp 2 Milyar. Selain itu, Selain itu, Pemkot Palopo pada tahun 2009 telah menganggarakan dana APBD sebesar Rp250 juta untuk pengadaan gudang penampungan Kakao (coklat). Selanjutnya pada tahun 2010 Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulsel dengan dukiungan APBN membangun Kawasan Industri Palopo (KIPA).  KIPA dirancang untuk mendukung pertumbuhan industry coklat dan rumput laut. Letak KIPA yang dekat pelabuhan serta bahan baku yang tersedia dalam jumlah besar  merupakan keungulan dari kawasan ini. Kawasan Industri Gowa (KIWA) terletak di Dusun Biring Rumang, Desa Panaikang, Kecamatan Galesong, Kota Palopo. Untuk mendukung pengembangan KIPA, Pemprov Sulsel memberikan dukungan APBD sebesar Rp 1 Milyar untuk pengadaan peralatan produksi pengolahan coklat.  Kota Palopo merupakan salah dari 4 Kabupaten/ Kota yang mendapatkan bantuan tersebut. Tiga Kabupaten lainnya adalah Kabupaten Luwu Utara,Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur.  


Kementerian Koperasi dan UKM mendorong pengembangan produk unggulan Kakao Kota Palopo.  Pada tanggal 28 Januari 2012, Menteri Negara Koperasi dan UKM melakukan kunjungan ke KIPA Palopo sekaligus meninjau pabrik coklat Madani Palopo. Pabrik Coklat Madani Palopo dilengkapi dengan mesin gengset dengan kapasitas 50.000 watt. Ia merincikan, mesin tersebut berfungsi sebagai mesin sangrai, konsing, penyaringan lemak, kemasan, pengayak, dan lain-lain. Pabrik Coklat Madani Palopo berhasil memproduksi  bubuk dan candy coklat, coklat batangan dan butter cocoa. Pabrik Coklat Madani Kota Palopo ini merupakan yang pertama kali dibangun di Kota Palopo, dan menjadi kebanggaan masyarakat Palopo. Pembangunan Pabrik Coklat ini merupakan inovasi dan kreativitas yang sangat penting dalam membangun industry hilir di Kota Palopo. 


Pada tanggal 02 Juli  2011, Menteri Koperasi (Menkop) dan UKM Syarifuddin Hasan menyerahkan bantuan sosial (bansos) Rp2,2 miliar kepada koperasi yang ada di Sulsel di Celebes Convention Center (CCC),  Bansos tersebut diberikan kepada 16 koperasi yang tersebar di 24 kabupaten/kota. Lima dari 16 kabupaten/kota tersebut merupakan Koperasi Serbausaha Madani Kota PaloposebesarRp100jutayangtelah mengembangkan produk unggulan kakao melalui program OVOP. Kemudian, Koptan Pasampang Luwu sebesar Rp300 juta,Koperasi Industri Makkuraga Sibali Reso Luwu Utara Rp380 juta,KUD Sangkutu Banne Toraja Rp300 juta,serta KUB Madani Palopo Rp 400 juta.  Penyerahan bantuan itu disertai diluncurkannya Gerakan One Village One Product (OVOP) Coklat Palopo.  Pengembangan  kakao sebagai produk unggulan  Kota Pola  dengan  pendekatan OVOP melalui koperasi  menjadi percontohan. Daerah lain.


Pengembangan produk unggulan daerah  dimaksudkan akan  ciri khas daerah. Pemerintah akan mendorong agar daerah penghasil kako dapat mengembangkan industry hilir, sehingga  daerah dapat meningkatkan nilai tambah yang dapat dinikmati oleh para petani kakao. Petani juga harus diorong untuk menghasilkan biji kakao yang difermentasi untuk mendapatkan nilai tambah dan sekaligus memperbaiki mutu biji kakao di pasaran internasional dan meningkatkan aroma khas kakao.    


Kakao Kota  Palopo memiliki banyak keunggulan jika dikembangkan dengan pendekatan One Vilage One Product (OVOP) dengan mencontoh sebagaimana keberhasilan Prof. Morihiko Haramatsu meritins OVOP Jepang yang saat itu menjabat Gubernur Oita, Jepang. Di Indonesia pelaksanaan OVOP dilaksanakan dalam rangka meindaklanjuti Inpres No.6/2007 tgl.  8 Juni 2007 tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM, yakni pada peningkatan peluang pasar produk UMKM melalui peningkatan efektivitas pengembangan klaster/sentra industri kecil dan menengah melalui pendekatan OVOP. Dalam pelaksanaannya, OVOP adalah suatu gerakan masyarakat yang secara integratif berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dan kekayaan daerah, meningkatkan pendapatan para pelaku usaha  dan masyarakat sekaligus meningkatkan rasa percaya diri dan kebanggaan terhadap kemampuan yang dimiliki masyarakat dan daerahnya. Sumber daya alam ataupun produk budaya lokal serta produk khas lokal yang telah dilakukan secara turun temurun dapat digali dan dikembangkan untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi sesuai tuntutan dan permintaan pasar. Dengan pembagian peran yang jelas dari masing-masing pemangku kepentingan, adanya perencanaan yang baik, adanya  tahapan kegiatan dan komitmen bersama pemangku kepentingan untuk baik, adanya  tahapan kegiatan dan komitmen bersama pemangku kepentingan untuk memperkuat UMKM di tanah air, maka  peningkatan efektivitas pengembangan UMKM melalui pendekatan OVOP di sentra diharapkan dapat dicapai. 


Dalam rangka menindalanjuti Inpres No. No.6/2007 tgl.  8 Juni 2007   tersebut, pada tanggal 8 Juni 2011, Menteri Negara Koperasi dan UKM meluncurkan program pengembangan produk unggulan Kopi dengan pendekatan One Vilage One Product (OVOP) melalui pengembangan Koperasi. Peluncuran ini menjadi bagian dari  key development milestone (tonggak pencapaian) menetapkan 100 titik OVOP di berbagai lokasi di seluruh Indonesia sampai dengan  2014. Untuk menilai perkembangan program pengembangan Produk Unggulan Kopi Tanggamus dengan pendekatan OVOP melalui koperasi perlu dilakukan evaluasi terhadap program evaluasi terhadap proyek yang telah dioperasionalisasikan (on-going project evaluation).