1. Kakao :
Asal usul dan kontribusi Indonesia di dunia
Kakao merupakan tanaman kecil yang selalu tumbuh terlindung dibawah pohon yang lain . Kakao
merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon di alam dapat mencapai ketinggian 10m.
Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5m
tetapi dengan
tajuk menyamping yang meluas. Hal ini
dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif. Tanaman Kakao (Theobroma
cacao) berasal dari Amerika bagian tropic perairan sungai Amazon
dan Orinoco (Decandole) Amerika Tengah dan New Grenada (antara sunga Orinoco,
Yajamica, Martinique.. Sedangkan
menurut Stahel tanaman kako berasal dari daerah Amerika Selatan (Lembah
perairan Orinoco dan Amazon) untuk kakao jenis Forastero dan Amerika Tengah
terutama Hutan Nicoya (Pantai Pasifik Orinoco dan Amazon) untuk jenis kakao
Criollo. Ada juga berpendapatan Kakao Criollo berasal dari pegunungan Andes
bagian utara, sedang Forastero berarasl dari sisi Timur.
Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai
cokelat. Menurut Ermcholm, Bangsa Maya
adalah yang pertama kali membudidayakan Kakao. Selanjutnya bangsa Aztec (Meksiko) dan bangsa Tolteca yang hidup sebelum bangsa
Astec. Bangsa Eropa mengetahu tanaman
Kakao pada tahun 1526. Kakao masuk
wilayah Indonesisa sekitar tahun 1560, dibawa oleh para pedagang Portugis
melalui Sulawesi dan selanjutnya tanaman Kakao menyebar ke daerah kepulauan di
sekitar Minahasa. Kakao yang masuk di Indonesia merupakan tanaman Kakao Criollo
berasal dari Venezuela. Perkembangan tanaman Kakao waktu itu cepat menyebar ke
seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa dan yang menyebar di Jawa akhirnya
dikenal sebagai Criollo Jawa.
Kakao mulai menjadi komoditi penting sejak sekitar tahun
1951. Tanaman Kakao di Indonesia mengalami kehancuran karena terserang penyakit
y ang tidak dapat
dikendalikan, sehingga kalau masih ada tanaman yang tersisa karena adanya usaha
yang dilakukan pembudidaya untuk tetap mempertahankan tanaman kakao agar tetap
tumbuh. Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian dan mendukung industry
kakao pada tahun 1975, setelah PTP VI berhasil menaikkan produksi kakao per
hektar melalui penggunaana bibit unggul Upper Amazon yang merupakan hasil
persilangan antar klon dan sabah.
Di Indonesia, kakao mulia dihasilkan oleh
beberapa perkebunan tua di Jawa, misal di kabupaten Jember yang dikelola oleh
PTPN (Perusahaan Perkebunan Negara). Varietas penghasil kakao mulia berasal
dari pemuliaan yang dilakukan
pada masa kolonial Belanda, dan dikenal dari namanya yang berawalan
"DR" (misalnya DR-38). Singkatan ini diambil dari singkatan nama
perkebunan tempat dilakukannya seleksi (Djati Roenggo, di daerah UngaranJawa Tengah). Varietas kakao
mulia berasal dari tipe Criollo.
Delapan negara penghasil kakao terbesar adalah (data tahun panen 2005) antara lain: Pantai Gading (38 %), Ghana (19
%), Indonesia (13 % sebagian besar kakao curah), Nigeria (5%), Brasil (5%), Kamerun (5%), Ekuador (4%), Malaysia (1%) dan negara-negara lain menghasilkan 9% sisanya. Kakao
sebagai komoditas perdagangan biasanya dibedakan menjadi dua kelompok besar:kakao
mulia ("edel
cacao") dan kakao curah ("bulk cacao").. Sebagian
besar daerah produsen kakao di Indonesia menghasilkan kakao curah. Kakao curah
berasal dari varietas-varietas yang
self-incompatible. Kualitas kakao curah biasanya rendah, meskipun
produksinya lebih tinggi. Bukan rasa yang diutamakan tetapi biasanya kandungan
lemaknya.
Tabel 1 : Daftar 10 Negara
Penghasil Kakao Dunia
Peringkat
|
Negara
|
Produksi
(Ribu Ton)
|
Kontribrusi
Produksi
Dunia (%)
|
1
|
Pantai Gading
|
1.300
|
37,4
|
2
|
Ghana
|
720
|
20,7
|
3
|
Indonesia
|
440
|
12,7
|
4
|
Kamerun
|
175
|
5,0
|
5
|
Negeria
|
160
|
4,6
|
6
|
Brazil
|
155
|
4,5
|
7
|
Equador
|
118
|
3,4
|
8
|
Dominka
|
47
|
1,4
|
9
|
Malaysia
|
30
|
0,9
|
10
|
Togo
|
23
|
0,6
|
Sumber : http://www.jualbeliforum.com, 28 September 2011
Sebagai negara produsen kakao terbesar ke tiga dunia setalah
Pantai Gading dan Ghana, indonesia memiliki peluang besar dalam mengisi
kebutuhan pasar dunia disamping peluang pasar domestik sekitar 240 juta
penduduk Indonesia. Sebagian besar daerah produsen kakao di Indonesia
menghasilkan kakao curah. Kakao curah berasal dari varietas-varietas yang self-incompatible.
Kualitas kakao curah biasanya rendah, meskipun produksinya lebih tinggi. Bukan
rasa yang diutamakan tetapi biasanya kandungan lemaknya.
Indonesia bercita-cita menjadi produsen
Kakao terbesar di dunia. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, Indonesia mencangangkan Hari Kakao Nasional tanggal
12 Oktober 2012. Dalam rangka menuju
cita-citated : Hilirisasi industri kakao dan coklat nasional dalam rangka
peningkatan konsumsi kakao dan cokelat.Namun, upaya mewujudkan kejayaan
kakao Indonesia tersebut terkendala oleh kondisi mutu dan produktivitas yang
rendah karena umur tanaman kakao yang sudah sangat tua (lebih dari 35 tahun),
serangan hama penyakit terutama penggerek buah kakao (PBK) dan vascular streak
dieback (VSD), selain itu sebagian besar biji kakao belum difermentasi dan
diolah menjadi coklat di sentra-sentra kakao. Berdasarkan data PT. B.T.
Cocoa, sekitar 80 persen produksi kakao
nasional itu bahan bakunya dihasilkan dari petani di sulawesi yakni Sulawesi
Tengah (18,33 persen), Sulawesi Selatan (17,78 persen), Sulawesi Tenggara
(16,46 persen) dan Sulawesi Barat (13,72 persen), Sementara provinsi lainnya
dengan produksi antara 3-8 persen yakni di Sumatera Utara (8,28 persen), Aceh
(3,32 persen), Sumatera Barat (3,79 persen) dan Lampung (3,26 persen).
Sedangkan provinsi yang memproduksi 1-2 persen dari total nasional itu ada di
Jawa Timur, NTT, Kaltim, Papua dan provinsi lainya.
Kakao saat ini tercatat sebagai penyumbang devisa negara
ketiga terbesar di sektor perkebunan yang memberikan lapangan pekerjaan bagi
1,6 juta petani di seluruh Indonesia. Dalam rangka memperbaiki budidaya kakao
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan
Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao). Menurut Menteri Pertanian (2012, Gernas Kakao
berhasil meningkatkan total produksi
29,24 persen produksi nasional.
Peningkatan produksi dan mutu kakao yang dilaksanakan tahun 2009,
pemerintah melakukan program peningkatan produksi di sembilan propinsi dan 40
kabupaten, tahun 2010 di 13 propinsi 56 kabupaten dan tahun 2011 di 25 propinsi
95 kabupaten. Sasaran Gernas Kakao, yakni perbaikan tanaman seluas 450 ribu
hektar meliputi peremajaan tanaman seluas 70 ribu ha, rehabilitasi tanaman
seluas 235 ribu ha, dan intensifikasi tanaman seluas 145 ribu ha. Selain itu, ini guna untuk pemberdayaan petan
melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450 ribu petani, pengendalian hama
dan penyakit tanaman seluas 450 ribu ha, dan perbaikan mutu kakao sesuai SNI.
Dampak dari ini program ini yakni produksi biji kakao nasional tahun 2011 mencapai
712 ribu ton yang diharapkan dapat mendukung kebutuhan bahan baku industri
dalam negeri yang pada tahun 2011 sebesar 268 ribu, dan diprediksi tahun 2012
mencapai 400 ton.Selanjutnya diharapkan produksi meningkat menjadi 500 ribu ton pada tahun 2013.
Untuk mendukung peremjaan tanaman Kakao, selama dua tahun
terakhir, 2009-2010, Puslit Kopi dan Kakao Indonersia telah menyalurkan
sebanyak 36 juta planlet kakao klonal untuk mendukung program gerakan nasional
peningkatan produksi dan mutu kakao. Menurut
Suryo Wardhani, Puslit Koka Jember ( http//:www.forumkompas.com, Agustus,2011) produksi kakao Indonesia telah mengalami
lompatan sangat besar sehingga mampu menyalip Ghana. Produksi kakao kering
Indonesia sebanyak 800.000 ton setahun. Adapun Pantai Gading masih bertahan di
urutan pertama dengan produksi 1,1 juta hingga 1,2 juta ton. Permintaan kakao
dunia akan terus meningkat, sementara persediaan tidak beranjak naik. Kini
banyak petani yang berswadaya memperluas areal tanaman kakao karena prospek ke
depan sangat baik. Daerah
penghasil kakao terbanyak di Indonesia hanya ada di empat provinsi, yakni
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang
menguasai 70 persen produksi nasional. Masih banyak daerah belum memanfaatkan
peluang ini, seperti Kalimantan Timur dan beberapa daerah lain.
Namun demikan, kualitas kakao ditentukan oleh perilaku
petani. Jika petani bersedia menambah waktu untuk mefermentasi kakao, maka akan
dapat nilai tambah Rp 5.000 per kilogram. Harga kakao kering tanpa fermentasi
Rp 20.000 per kilogram dan perusahaan perkebunan besar menjual kakao fermentasi
Rp 25.000 per kilogram. Dengan Kakao
fermentasi bisa meningkatkan cita rasa dan aroma kakao. Menurut
Suryo (2011) Pasar Kakao sekarang
menunjukkan Amerika lebih memilih
yang tidak difermentasi, sementara Eropa
justru memilikh kakao yang difermentasi.
Menurut data FAO menyebutkan, Indonesia
memproduksi 574 ribu ton Kakao
di tahun 2010. Namun, tingginya produksi kakao tersebut tidak serta merta
membuat Indonesia menjadi negara dengan konsumsi cokelat yang tinggi, karena
dalam kenyataannya konsumsi cokelat di negeri kita masih rendah. Faktor penyebab rendahnya
konsumsi coklat di dalam negeri antara lain : 1. Indonesia memiliki sedikit industri pengolahan coklat.
2. Bahan bahan coklat di Indonesia sebagian besar di ekspor dalam bentuk biji
(curah) dan lebih banyak menghasilkan lemak coklat. 3. Biji kakao yang dihasilkan petani sebagian
besar tidak difermentasi sehingga flavor (aroma) kakao tidak keluar. 4. Industri pengolahan coklat dalam negeri terpaksa
mencampur kakao dalam negeri
tidak difermentasi dengan kakao impor hanya untuk tujuan aroma khas
kakao. 5. Biaya investasi untuk
membangun industry pengolahan coklat sangat besar, sehinga menutup kesempatan
bagi sentra penghasilkan kakao menghasilkan aneka coklat olahan yang
berkualitas.
Meskipun Eropa bukan penghasil biji kakao,
namun konsumsi coklat di Eropa sangat tinggi. Eropa adalah negara
penghasil dan pengekspor cokelat no.1 di dunia. Orang Indonesia tidak terbiasa mengkonsumsi cokelat. Bila
dibandingkan dengan konsumsi orang Eropa yang mencapai 1 kg per kapita /tahun,
konsumsi cokelat di Indonesia hanya mencapai 300 gram per kapita/ tahun.
Jumlahnya sangat rendah dibandingkan dengan konsumsi cokelat orang Eropa.Cokelat masih
dianggap suatu makanan mahal, sehingga bukan termasuk makanan yang sering
dibeli. Cokelat biasanya hanya dibeli pada waktu tertentu dan maksud tertentu
misalnya saat valentine, ataupun sebagai hadiah ulang tahun. Banyak
kaum perempuan menghindari makan cokelat karena takut gemuk. Cokelat memang
makanan ringan dengan kandungan kalori dan gula yang cukup tinggi. Kalori dan
gula memang identik dengan kegemukan. Menurut Beatrice Golomb,
peneliti dari Universitas San Diego, Amerika mengemukakan bahwa orang-orang
yang mengkonsumsi coklat dengan frekuensi cukup sering memiliki indeks massa
tubuh yang lebih rendah dibandingkan orang-orang yang jarang mengkonsumsi
cokelat. Selain hal tersebut cokelat sangat kaya antioksidan yakni polifenol
yang dapat mengurangi kolesterol dan gula darah. Walau demikian konsumsi cokelat harus cerdas dan dalam jumlah
yang tepat. Untuk menghindari resiko kegemukan, mengkonsumsi cokelat yang lebih
tinggi kandungan kakao mass-nya seperti dark chocolate dan
rendah kandungan susu dan gulanya. Meski tingginya kadar kakao mass membuat
rasa cokelat agak pahit, tapi lebih sehat sebab mngandung lebih sedikit gula
dan susu. Menurut
laporan, bahwa satu bar cokelat
mengandung setidaknya 200 kalori yang berasal dari lemak jenuh dan gula. Karena itu makan cokelat disarankan hanya 28 gram atau sekitar
satu ons sehari dan pilihlah dark chocholate.
2. Pengembangan Produk
Unggulan Kakao Kota Palopo dengan pendekatan OVOP melalui
Koperasi Kota
Palopo
Sulawesi
Selatan. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif sejak 1986 dan merupakan bagian dari Kabupaten
Luwu yang kemudian berubah
menjadi kota pada tahun 2002 sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2002
tanggal 10 April 2002. Berdasarkan Perda Kota Palopo Nomor 03 Tahun
2005, dilaksanakan pemekaran Wilayah Kecamatan dan Kelurahan dari 4 Kecamatan
menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.
Luas wilayah Kota Palopo 155,19
km² dan berpenduduk sebanyak 120.748 jiwa.
Kota Palopo ini dulunya bernama Ware yang dikenal dalam Epik La Galigo.
Nama "Palopo" ini diperkirakan mulai digunakan sejak tahun1604, bersamaan dengan
pembangunan masjid Jami' Tua. Kata "Palopo" ini diambil dari dua kata
bahasa Bugis-Luwu. Artinya yang pertama adalah penganan ketan dan air gula
merah dicampur. Arti yang kedua dari kata Palopo adalah memasukkan pasak ke
dalam tiang bangunan. Dua kata ini ada hubungannya dengan pembangunan dan
penggunaan resmi masjid Jami' Tua yang dibangun pada tahun 1604 (Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palopo).
Kota Palopo dan Kabupaten Luwu
merupakan penghasil Kakao. Berdasarkan data
Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan
Makasar (2010), luas lahan kakao Kota Palopo diusahakan 3.713 Ha. Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) 599 Ha dan
Tanaman Menghasilkan 2.683 Ha. Luas lahan kakao Kabupaten Luwu 36.762 Ha dengan
perincian Tanaman Belum Menghasilkan 3.204 Ha dan Tanaman Menghasilkan 31.862
dan TT/TR 1.696 Ha. Sementara luas lahan perkebunan Kakao di Kabupaten Luwu
yang diusahakan sebanyak 36.762 Ha, terdiri dari TBM 3.204 Ha, TM 31.862 Ha dan
TT/TR 1.696 Ha.
Tabel 1 Produksi Kakao Kota Palopo dan Kabupaten Luwu Sulsel
Tahun
|
Palopo (Ton)
|
Kab. Luwu (Ton)
|
2010
|
2.369
|
29.830
|
2009
|
2.177
|
26.996
|
2006
|
4.531
|
30.863
|
Palopo
itu pintu timur Sulsel yang merupakan jalur penghubung untuk provinsi lainnya.
Palopo merupakan kota jasa dan memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang sangat
baik. Letak geografis Kota Palopo merupakan posisi
strategis sebagai titik simpul jalur transportasi darat Trans Sulawesi dan laut
trans Teluk Bone. Pada posisi ini Kota Palopo menjadi salah satu jalur
distribusi barang dari Makassar dan Pare-Pare menuju Propinsi Sulawesi Tengah,
Kabupaten Luwu Utara, Luwu Timur dan pada jalur laut menuju Propinsi Sulawesi
Tenggara. Keberadaan fasilitas seperti Bandara Udara Lagaligo yang terletak di
Kecamatan Bua Kabupaten Luwu yang terletak sekitar 20 km dari Kota Palopo yang
secara tidak langsung akan memberikan penguatan terhadap posisi strategis
wilayah Kota Palopo sebagai salah satu pusat aktivitas ekonomi, sosial dan
budaya terhadap wilayah hinterland lainnya.
Sesuai dengan RPJMD 2008-2013
Kota Palopo menyediakan lahan untuk membangun Kawasan Industri Palopo (KIPA). Menurut
www.palopopos.co.id, sejak tahun 2009, 2010 dan 2011 Pemkot
Palopo telah menyediakan dana APBD untuk pembebasan lahan seluar 800 Ha dan
pembangunan jalan sepanjang 3 Km dengan total anggaran Rp 2 Milyar. Selain itu,
Selain itu, Pemkot Palopo pada tahun
2009 telah menganggarakan dana APBD sebesar Rp250 juta untuk pengadaan gudang penampungan
Kakao (coklat). Selanjutnya pada tahun
2010 Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulsel dengan dukiungan APBN membangun
Kawasan Industri Palopo (KIPA). KIPA dirancang untuk mendukung pertumbuhan industry
coklat dan rumput laut. Letak KIPA yang dekat pelabuhan serta bahan baku yang
tersedia dalam jumlah besar merupakan
keungulan dari kawasan ini. Kawasan Industri Gowa (KIWA) terletak di Dusun Biring Rumang, Desa Panaikang, Kecamatan
Galesong,
Kota Palopo. Untuk mendukung pengembangan KIPA, Pemprov Sulsel memberikan
dukungan APBD sebesar Rp 1 Milyar untuk pengadaan peralatan produksi pengolahan
coklat. Kota Palopo merupakan salah
dari 4 Kabupaten/ Kota yang mendapatkan bantuan tersebut. Tiga Kabupaten lainnya adalah Kabupaten Luwu
Utara,Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur.
Kementerian Koperasi dan UKM mendorong
pengembangan produk unggulan Kakao Kota Palopo.
Pada tanggal 28 Januari 2012, Menteri
Negara Koperasi dan UKM melakukan kunjungan ke KIPA Palopo sekaligus meninjau
pabrik coklat Madani Palopo. Pabrik Coklat Madani Palopo dilengkapi dengan mesin gengset dengan kapasitas 50.000 watt. Ia merincikan, mesin tersebut berfungsi
sebagai mesin sangrai, konsing, penyaringan lemak, kemasan, pengayak, dan
lain-lain. Pabrik Coklat Madani Palopo berhasil memproduksi bubuk
dan candy coklat, coklat batangan dan butter cocoa. Pabrik Coklat Madani Kota Palopo ini
merupakan yang pertama kali dibangun di Kota Palopo, dan menjadi kebanggaan
masyarakat Palopo. Pembangunan Pabrik Coklat ini merupakan inovasi dan kreativitas yang sangat penting dalam membangun
industry hilir di Kota Palopo.
Pada tanggal 02 Juli
2011, Menteri Koperasi (Menkop) dan UKM Syarifuddin Hasan
menyerahkan bantuan sosial (bansos) Rp2,2 miliar kepada koperasi yang ada di
Sulsel di Celebes Convention Center (CCC), Bansos tersebut diberikan kepada
16 koperasi yang tersebar di 24 kabupaten/kota. Lima dari 16 kabupaten/kota
tersebut merupakan Koperasi Serbausaha Madani Kota
PaloposebesarRp100jutayangtelah mengembangkan produk unggulan kakao melalui
program OVOP. Kemudian, Koptan Pasampang Luwu sebesar Rp300 juta,Koperasi
Industri Makkuraga Sibali Reso Luwu Utara Rp380 juta,KUD Sangkutu Banne Toraja
Rp300 juta,serta KUB Madani Palopo Rp 400 juta. Penyerahan bantuan itu disertai diluncurkannya Gerakan One Village One Product (OVOP) Coklat Palopo. Pengembangan
kakao sebagai produk unggulan
Kota Pola dengan pendekatan OVOP melalui koperasi menjadi percontohan. Daerah
lain.
Pengembangan produk unggulan daerah dimaksudkan akan ciri khas daerah. Pemerintah akan mendorong agar
daerah penghasil kako dapat mengembangkan industry hilir, sehingga daerah dapat meningkatkan nilai tambah yang
dapat dinikmati oleh para petani kakao. Petani juga harus diorong untuk
menghasilkan biji kakao yang difermentasi untuk mendapatkan nilai tambah dan sekaligus
memperbaiki mutu biji kakao di pasaran internasional dan meningkatkan aroma
khas kakao.
Kakao
Kota Palopo memiliki banyak keunggulan
jika dikembangkan dengan pendekatan One Vilage One Product (OVOP) dengan
mencontoh sebagaimana keberhasilan Prof. Morihiko Haramatsu meritins OVOP
Jepang yang saat itu menjabat Gubernur Oita, Jepang. Di Indonesia pelaksanaan
OVOP dilaksanakan dalam rangka meindaklanjuti
Inpres No.6/2007 tgl. 8 Juni 2007
tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM,
yakni pada peningkatan peluang pasar produk UMKM melalui peningkatan
efektivitas pengembangan klaster/sentra industri kecil dan menengah melalui
pendekatan OVOP. Dalam pelaksanaannya, OVOP adalah suatu gerakan masyarakat
yang secara integratif berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
potensi dan kekayaan daerah, meningkatkan pendapatan para pelaku usaha
dan masyarakat sekaligus meningkatkan rasa percaya diri dan kebanggaan terhadap
kemampuan yang dimiliki masyarakat dan daerahnya. Sumber daya alam ataupun
produk budaya lokal serta produk khas lokal yang telah dilakukan secara turun
temurun dapat digali dan dikembangkan untuk menghasilkan produk bernilai tambah
tinggi sesuai tuntutan dan permintaan pasar. Dengan pembagian peran yang jelas
dari masing-masing pemangku kepentingan, adanya perencanaan yang baik,
adanya tahapan kegiatan dan komitmen bersama pemangku kepentingan untuk
baik, adanya tahapan kegiatan dan komitmen bersama pemangku kepentingan
untuk memperkuat UMKM di tanah air, maka peningkatan efektivitas
pengembangan UMKM melalui pendekatan OVOP di sentra diharapkan dapat dicapai.
Dalam rangka
menindalanjuti Inpres No. No.6/2007 tgl. 8 Juni 2007
tersebut, pada tanggal 8 Juni 2011, Menteri Negara Koperasi dan UKM
meluncurkan program pengembangan produk unggulan Kopi dengan pendekatan One
Vilage One Product (OVOP) melalui pengembangan Koperasi. Peluncuran ini menjadi
bagian dari key development milestone (tonggak pencapaian)
menetapkan 100 titik OVOP di berbagai lokasi di seluruh Indonesia sampai
dengan 2014. Untuk menilai perkembangan
program pengembangan Produk Unggulan Kopi Tanggamus dengan pendekatan OVOP
melalui koperasi perlu dilakukan evaluasi terhadap program evaluasi terhadap proyek yang telah dioperasionalisasikan (on-going project evaluation).